Thursday 6 November 2014

Upacara Adat Suku Tengger

Upacara Kasada 


Gunung Bromo di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Provinsi Jawa Timur adalah salah satu obyek wisata tersohor di dunia. Gunung ini memiliki keunikan panorama yang indah sekaligus mistis sehingga menyodorkan suasana berbeda dibanding gunung lainnya. Di sini terbantang keindahan lanskap pegunungan dengan asap membumbung dari kawahnya dan di bawahnya ada lautan pasir luas yang mengelilinginya. Foto panorama Gunung Bromo telah menghiasai banyak majalah wisata, koran, website, post card, hingga brosur pariwisata.

Pemandangan sunrise dan sunset disini sungguh menakjubkan dan keindahannya tidak dapat ditemukan di belahan dunia lain. Wisatawan dari berbagai negara datang ke Bromo untuk menikmati keindahan yang terpancar seakan tidak akan pernah ada habisnya. Di sekitar Bromo hingga puncak gunungnya di Penanjakan tidak ditemui tanaman hijau selain semak belukar. Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir sekitar 5.250 hektar di ketinggian 2.392 Mdpl.

Selain keindahan alamnya yang mengagumkan, ternyata Bromo memiliki daya tarik budaya, yaitu Yadnya Kasada atau Kasodo yang digelar setiap bukan Kasada hari ke 14 dalam penanggalan kalender tradisional Hindu Tengger atau juga kalender jawa. Upacara sesembahan atau sesajen ini adalah untuk Sang Hyang Widhi dan para leluhur terutama Roro Anteng (Putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (Putra Brahmana). Upacara adat ini digelar di Pura Luhur Poten, tepat di kaki Bromo, pada tengah malam hingga dini hari. Upacara ada suku Tengger ini bertujuan untuk mengangkat dukun atau tabib yang ada di setiap desa di sekitar Gunung Bromo. Dalam festival ini suku Tengger akan melemparkan sesajen berupa sayuran, ayam, dan bahkan uang ke kawah gunung tersebut.

Suku Tengger di Bromo dikenal sangat berpegang teguh pada adat dan istiadat Hindu lama yang menjadi pedoman hidup mereka. Keberadaan suku ini juga sangat dihormati oleh penduduk sekitar termasuk menerapkan hidup yang sangat jujur dan tidak iri hati. Menurut penuturan masyarakat setempat, diyakini bahwa suku Tengger adalah keturunan Roro Anteng, yaitu seorang putri dari raja Majapahit dan Joko Seger, yaitu putra Brahmana. Bahasa daerah yang mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa Kuno. Mereka tidak memiliki kasta bahasa, sangat berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai umumnya dengan tingkatan bahasa.

Asal mula nama suku Tengger diambil dari nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Keduanya membangun pemukiman dan memerintah di kawasan Tengger ini kemudian menamakannya sebagai Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger atau artinya "Penguasa Tengger yang Budiman".

Sebelum upacara Kasada Bromo dilasungkan, calon dukun dan tabib akan menyiapkan beberapa sesaji untuk dipersembahkan dengan cara melemparkannya ke kawah Gunung Bromo. Persembahan sesajen ini dilakukan beberapa hari sebelum upacara. Mereka juga harus melalui tes pembacaan mantra terlebih dahulu saat upacara berlangsung sebelum dinyatakan lulus dan diangkat oleh tetua adat, Peran dukun atau tabib bagi suku Tengger sangat kuat karena dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan masalah yang dialami oleh masyarakatnya. Tabib ini dapat melafalkan mantra-mantra kuno Hindu.

Suku Tengger adalah pemeluk agama Hindu lama dan tidak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya yang memiliki candi-candi sebagai tempat peribadahan. Untuk melakukan ibadah mereka akan melakukannya di punden, danyang dan poten. Poten sendiri merupakan sebidang lahan di lautan pasir di kaki Bromo sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga mandala.


Tepat pada malam ke 14 bulan Kasada, suku Tengger ramai-ramai membawa sesajen hasil ternak dan pertanian ke Pura Luhur Poten dan menunggu hingga tengah malam saat dukun ditasbihan tetua adat. Berikutnya sesajen yang disiapkan di bawa ke atas kawah gunung untuk dilemparkan sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang. Bagi suku Tengger sesaji yang dilempar ke Kawah Bromo tersebut sebagai bentuk kaul atau rasa syukur atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Di dalam kawah ternyata telah menunggu banyak pengemis dan penduduk Tengger yang tinggal di pedalaman  Uniknya mereka jauh-jauh hari sudah tiba disini bahkan sengaja mendirikan tempat tinggal sementara di sekitar Gunung Bromo dan berharap mendapatkan ongkek-ongkek yang berisi sesajen berupa buah-buahan, hewan ternak, juga uang. Aktivitas penduduk Tengger pedalaman yang berada di kawah Gunung Bromo dapat Anda lihat sejak malam hingga siang saat hari menjelang upacara Yadnya Kasada.






Apabila Anda berminat menyaksikan Upacara Kasada Bromo maka disarankan datang sebelum tengah malam karena ramainya persiapan para dukun dan masyarakat. Masyarakat akan mengendarai sepeda motor atau kendaraan pribadi sehingga membuat jalanan menuju kaki gunung macet. Hal ini bahkan dapat membuat kendaraan dari gerbang tidak dapat turun ke bawah. Perlu diperhatikan juga bahwa jalan lain ke arah bawah perlu beriringan dengan rombongan penduduk yang menuju pura. Hal itu karena apabila sendiri dikhawatirkan akan tersesat akibat kabut yang tebal dan jarak pandang yang terbatas.

Upacara Kasada Bromo sendiri telah digelar sejak masa Kerajaan Majapahit dan Gunung Bromo memang dianggap sebagai tempat suci. Gunung Bromo berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Brahma atau seorang dewa yang utama. Pada masa Dinasti Brawijaya, permaisurinya dikarunia seorang anak perempuan bernama Roro Anteng. Setelah beranjak dewasa putri ini menikah dengan seorang pemuda dari Kasta Brahmana bernama Joko Seger. Keduanya kemudian memutuskan untuk tinggal dan menjadi penguasa di Tengger saat kerajaan Majapahit mengalami kemerosotan dan pengaruh islam semakin kuat di Pulau Jawa. Setelah sekian lama hidup bersama mereka sangat bersedih karena belum dikaruniai anak. Akhirnya mereka pun bersemedi di puncak Gunung Bromo dan mendapatkan petunjuk bahwa permintaan mereka akan dikabulkan dengan syarat anak bungsu mereka setelah lahir harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Setelah 25 orang anak, tiba saatnya anak bungu tersebut masuk ke kawah Bromo. Timbul suara dari si anak agar orang tua mereka hidup tenang beserta saudara-saudaranya. Untuk menghormati pengorbanan tersebut maka setiap tahun diadakan upacara sesaji ke Kawah Bromo dan terus berlangsung secara turun-temurun sampai saat ini.

Bagikan

Jangan lewatkan

Upacara Adat Suku Tengger
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.