Wednesday 23 September 2015

Mendaki Gunung Menghargai Hidup!

Mendaki gunung!! Iya inilah yang sekarang menjadi bagian hidup dari orang banyak, tidak hanya saya. Semua rela menghabiskan sebagian waktunya untuk hal yang melelahkan ini. Melelahkan, membahayakan dan entah apalagi, tapi buat saya ini adalah salah satu wujud bagaimana menghargai dan mensyukuri hidup.




Menghargai hidup? Bagaimana bisa dikatakan menghargai hidup, padahal ini membahayakan? Bagi saya hidup ini memang hanyalah sebuah perjalanan dan penantian, menanti hari dimana kita benar-benar harus kembali. Tak ada yang tau dengan cara apa dan dimana kita kembali saat itu nanti. Ini memang membahayakan, membahayakan jika kita tidak pernah mawas diri dan hati-hati. Membahayakan jika kita tidak tahu bagaimana caranya bertingkah yang baik, membahayakan jika kita seenaknya sendiri.


Semua bahaya itu tidak akan pernah terjadi pada kita jika kita bisa bercermin diri. Percayalah bahwa Tuhan selalu bersama mereka, jika mereka mau mengingat Tuhannya. Sedikit sekali mereka yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.

Pecinta alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang ini. Dengan ransel berat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka sambil berkata dalam hatinya "ngapain capek capek naik gunung, nggak dapat apa-apa cuma dapet capek, kurang kerjaan banget".

Tak sedikit berpendapat seperti itu, tapi bagi saya dan mungkin sekelompok orang yang sepaham tidaklah bergitu. Cobalah tengok ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan belajar serta ditempa oleh alam. Mandiri, percaya diri, kuat, dan tak pernah menyerah mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika naik hanya untuk menjawab golongan mereka yang tak henti-henti mencibir. Membuktikan bahwa kita berbeda dari mereka yang hanya bisa membual tapi lemah!!

Peduli pada alam membuat kita dan siapapun itu akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan seorang musuh sendiri. Bagaimana tidak, di alam kita diajarkan berbagi meski berbekal kekurangan. Punya sedikit air, makanan, selalu dibagikan dengan ketulusan pada mereka orang lain yang bukan siapa-siapa. Belum kenal dan baru pertama ketemu, entah nanti cukup atau tidak, semua tidak dipedulikan. Semua hanya tentang bagaimana kita bisa berbagi pada mereka yang membutuhkan meskipun kita sendiri penuh keterbatasan.


Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang-orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukkan alam ini, tapi bagaimana kita menaklukkan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah tentang kebersamaan, persaudaraan, pengorbanan dan saling ketergantungan antar sesama.

Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi oleh pandangan masyarakat yang berpikiran negatif terhadap dampak kegiatan ini. Kebakaran, kerusakan lingkungan, kekotoran, dan masih banyak lagi tentang hal negatif yang mereka pikirkan terhadap apa yang kita telah perbuat. Kita sangat kecewa dan menyesalkan atas pemikiran seperti itu, kita sangat menyesalkan atas mereka yang mengaku pecinta alam tapi tidak bisa merawat alam ini. Jangankan merawat, hanya sekedar menjaga saja itu sudah cukup. 

Sekarang ini kebakaran di gunung terjadi dimana-mana, siapa yang disalahkan kalau bukan kita sebagai pendaki gunung. Meskipun kita atas nama pendaki gunung tidak pernah melakukannya dan tidak tau apa-apa. Jika itu perbuatan kita, maka kita bukanlah seorang pendaki atau pecinta alam, tapi mungkin kita adalah bagian dari mereka yang selalu mengeklaim dirinya sebagai pecinta ala.

Memang sangat disayangkan, karena itu hanya menambah citra pendaki menjadi lebih buruk lagi.

Menjadi seperti mereka tak mudahkan? Berusaha menjaga dan mencintai alam tapi selalu dipandang rendah dan negatif. Belum lagi atas pemikiran yang menyinggung soal kematian yang memang tampak lebih dekat pada kita dan mereka yang sering terjun di alam bebas. "Mati muda yang sia-sia", begitulah komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal di awal tadi saya sudah mengatakan, bahwa tidak ada yang tau dengan cara apa dan dimana kita harus kembali. Gunung dan alam hanyalah satu dari sekian alternatif dari suratan takdir. Tidak di gunung pun kalau mau mati ya mati. Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin selamanya juga bisa dianggap kita tidak pernah hidup. Kita tidak akan mengenal dunia ini.

Di puncak gunung kaki kita berpijak, memandang langit yang dekat, mengagumi dan mensyukuri keindahan oleh Sang Pencipta. Di alam disanalah tempat paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan tempat dimana keyakinan diri yang kuat. Jiwa yang penuh semangat dan selalu gembira. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Disanlah pembuktian diri dari pribadi yang egois dan manja menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, lelah dan terkadang rindu rumah memang tetap ada, tapi dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi kita anak manusia.

Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak-injak dan walaupun terkadang dikotori dan disakiti. Ada banyak luka di tangan, ada begitu besar kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habisnya, ada rasa putus asa yang selalu mencemari hati. Tapi semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan dan puncak rasa haus serta lapar. Tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu rasanya masih sah-sah saja. Hanya saja jangan terus-terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya berdiri. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia hanya akan kembali ke urat akar dimana dia hidup.

Menghargai hidup adalah salah satu hal yang kita peroleh dari mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal, betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, dimana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki satu kali pula menghargai hidup. Dua kali mendaki dua kali pula menghargai hidup dan begitu seterusnya.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam tekanan mental dan fisik, mengendalikan dari segala keterbatasan, juga bagaimana berubah menjadi seorang bunda yang tidak ada henti-hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.

Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kita dan mereka, maka biarkan sajalah karena siapapun orang yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia-sia. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara dimana mereka tidak bisa mengerti dan merasakannya.


Bagikan

Jangan lewatkan

Mendaki Gunung Menghargai Hidup!
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.